Sudah saatnya kah ada “KOMDIS” di tingkat Prodi ???


Pada hari ini saya dihadapkan pada sebuah pilihan yang cukup berat dan sampai harus mengernyitkan dahi untuk menentukan keputusan yang harus diambil. Saya harus memilih apakah mengikuti peraturan (hukum), atau mengeluarkan kebijakan, atau melahirkan kebijaksanaan.

Pilihan tersebut sering saya hadapi ketika berhadapan dengan mahasiswa yang terkena musibah, kemudian akibatnya dia jadi melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi yang terkena musibah adalah pihak lain bukan mahasiswa itu sendiri tapi yang kena dampak dari musibah tersebut adalah mahasiswa yang bersangkutan. Akhirnya jadi dilema bagi saya.

Di satu sisi, ketika aturan/hukum dilanggar, maka sanksi atau hukuman harus dijatuhkan kepada pelanggar. Namun di sisi lain, saya tau bahwa pelanggaran tersebut tidak secara sengaja dilakukan oleh mahasiswa. Apakah saya harus minta kebijakan dari pejabat tertentu untuk memberikan pengampunan kepada mahasiswa tersebut, yang akhirnya akan terjadi pelanggaran terhadap hukum yang berlaku oleh pejabat yang berwenang. Ataukah saya harus melahirkan kebijaksanaan dengan menetapkan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh mahasiswa agar bebas dari hukuman?? Masalahnya, seringkali timbul permasalahan baru dari kebijakan tersebut, ketika syarat yang ditentukan dianggap terlalu ringan oleh dosen lain. Haduhhh “lieur”

Sebagai dasar pertimbangan akhirnya saya baca beberapa referensi, yang menghasilkan resume sebagai berikut :

  1. Peraturan/Hukum harus memenuhi karakteristik yang menjadi syarat mutlak dari ketentuan yang kemudian bisa dikatagorikan sebagai sebuah produk hukum, yaitu :
    • Adanya unsur perintah dan atau larangan;
    • Adanya unsur memaksa (pemberian sanksi bagi pelanggarnya);
    • Adanya unsur untuk ketertiban; dan
    • Adanya kewenangan dari pembuat aturan.
  2. Kebijakan atau biasa disebut dengan policy, sangat erat kaitannya dengan kewenangan, kebijakan muncul karena adanya kewenangan, kewenangan berkaitan dengan jabatan, kebijakan hanya dapat dilakukan oleh karena adanya kewenangan yang melekat pada seseorang.
    Orang yang tidak mempunyai kewenangan tidak dapat menerbitkan kebijakan. Kebijakan merupakan ketetapan yang diambil pihak yang mempunyai kewenangan dikarenakan adanya suatu keadaan/permasalah/perubahan tertentu.
  3. Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat.
    Kebijaksanaan berkaitan erat dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang mendapatkan kebijaksanaan, calon penerima kebijaksanaan harus melakukan/memberikan/membuat sesuau agar kebijaksanaan dapat dikeluarkan, apabila syarat untuk dikeluarkannya kebijaksanaan tidak dipenuhi, maka kebijaksanaan tersebut tidak dapat dikeluarkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijaksanaan.

Poin ke-1 dan ke-2 sepertinya sulit dilakukan oleh saya. Pilihan ke-3 lah yang berpeluang besar dan mungkin saya lakukan.

Akhirnya, mengucap Bismallah saya berikan kebijaksanaan dengan persyaratan yang saya kira cukup untuk menjadi hukuman bagi mahasiswa tersebut.

Permasalahan yang seperti saya hadapi, pasti pernah menimpa dosen lain. Namun, respon yang diberikan bisa beda denganyang saya lakukan. Di sini kemudian timbul anggap dari mahasiswa bahwa sudah terjadi ketidak adilan kepada mereka.

Dalam hal ini saya menganggap pelu ada suatu majelis atau unit organisasi semisal “Komisi Disiplin” (KOMDIS) di lingkungan prodi yang akan bermusayawarah dan melahirkan kebijaksanaan atas permasalahan yang penanganannya tidak bisa digeneralisir, alias harus diperlakukan khusus pada kasus per kasus. Saya pikir, kebijaksanaan yang dilahirkan dari hasil musyawarah banyak pemikir akan memiliki sebuah keputusan yang lebih lewakili banyak pihak dan lebih arif.

So, Sudah saatnya kah kita punya “KOMDIS” ditingkat Prodi ???

 

Referensi :

  1. http://www.seputarpengetahuan.com/2015/02/20-pengertian-hukum-menurut-para-ahli-terlengkap.html, 19-05-2016: 0:23.
  2. Utrecht, E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, 1953;
  3. Tirtaatmidjaja, M.H., Pokok-pokok Hukum perniagaan, Djembatan, 1970.

Leave a Reply