Pilar Kelembagaan E-Govenrment Part 1


Pembangunan e-government di lingkungan pemerintahan harus dilakukan secara terencana, konsisten, dan berkesinambungan, tidak bisa dilakukan secara parsial, by project, atau berdasarkan pencitraan sasaat yang dilakukan oleh kepala daerah menjelang pilkada.

Oleh karena itu harus ada upaya secara terlembaga dan melembaga, artinya diperlukan sebuah lembaga yang memiliki tugas dan fungsi :

  1. merumuskan dan mengawal pelaksanaan kebijakan di bidang e-government;
  2. merencanakan pembangunan e-government;
  3. mengembangkan berbagai aplikasi e-government;
  4. mengaudit pelaksanaan e-government;
  5. memelihara kelangsungan e-government.

Pertanyaannya, “Bagaimana kelembagaan yang sesuai untuk pengembangan e-goventment?”. Pengembangan teknologi informasi di lingkungan pemerintahan Indonesia belum menjadi kegiatan atau program kerja bagi sebagian besar Satuan Perangkat Daerah (SKPD), sehingga dijumpai di beberapa pemerintah daerah yang tidak memiliki lembaga setingkat dinas atau badan yang dibentuk untuk menangani pengembangan IT di lingkungan pemerintah daerah tersebut. Hal tersebut mengakibatkan pengembangan aplikasi di SKPD bersifat sporadis dan tidak menunjang pencpaian visi dan misi pemda, bahkan bisa menimbulkan permasalahan hukum yang serius tatkala pengembangan aplikasi dilakukan menyalahi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Agar e-government yang dikembangkan dapat menunjang pencapaian visi dan misi pemerintah daerah, maka harus dibentuk lembaga yang menjadi leader dalam pengembangan e-government di sebuah lingkungan pemda. Berikut contoh bentuk kelembagaan yang dibentuk :

lembagaStruktur organisasi yang dibentuk :

strukturKelembagaan yang baik, umumnya akan diikuti dengan tata kelola IT yang baik pula. Tanpa kelola IT yang baik akan timbul penerapan IT yang semramut.

Tanpa pengelolaan IT yang baik akan berakibat :

  1. Permintaan solusi IT bersifat serabutan dan tidak terkendali tanpa perencanaan serta tidak inline dengan tujuan organisasi.
  2. Tidak ada proses penentuan prioritas dan otoritas. Dalam hal ini, pengadaan aplikasi ataupun infrastruktur IT tidak berdasarkan prioritas yang direncanakan melalui identifikasi fungsi organisasi dan kepentingannya. Diperparah lagi oleh belum ada pihak yang memiliki otoritas untuk mengatur tingkat prioritas dan kepentingan solusi IT yang akan dibangun.
  3. Bersifat reaktif dan bukan proaktif. Solusi IT yang dibangun hanya bersifat infulsif tanpa ada perencanaan yang terintegrasi.

Dalam kondisi seperti itu akan timbul penomena dimana TIK solah berupa kotak hitam, yaitu SKPD dan TIK tidak sepaham dan layanan yang diberikan sangat buruk.

Referensi :

E-Government Essentials, inixindo, 2015.

 

Bersambung ke Part 2


Leave a Reply